PENDAHULUAN
Dalam dekade terakhir ini perkembangan dalam diagnosis dan pengobatan penyakit jantung amat pesat. Begitu pula perkembangan dalam diagnosis dan pengobatan penderita dengan Gawat Jantung yang biasanya melibatkan peralatan-peralatan yang canggih dengan biaya yang mahal dan obat-obatan yang sangat mahal pula.Untuk itu perlu perencanaan yang baik dan pendekatan yang rasional untuk mendapatkan efisiensi yaitu benefit yang setinggi-tingginya dengan cost atau risk yang serendah-rendahnya untuk menghindarkan pemborosan dan menghindarkan penderita dari risiko yang tidak perlu. Masalah penting yang harus diperhatikan ialah fasilitas dan dana yang selalu terbatas. Sebetulnya ada sedikit perbedaan antara cost-benefit analysis dengan cost-effectiveness analysis. Pada cost-benefit analysis, cost dan benefit ditunjukkan dalam nilai uang, sedangkan pada cost-effectiveness analysis, cost dalam nilai uang tetapi effectiveness dalam health benefit. Health benefit tersebut dihitung dalam unit misalnya jumlah yang hidup (diselamatkan), jumlah tahun kehidupan, kualitas hidup, dan sebagainya.
Tujuan cost-effectiveness analysis ialah dengan sumber daya dan fasilitas yang ada, mendapatkan health benefit setinggitingginya dengan biaya yang serendah-rendahnya.
ANALISIS PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK (CLINICAL DECISION ANALYSIS/MAKING) PADA PENDERITA GAWAT JANTUNG
A. Pembuatan Keputusan Klinik dalam Diagnosis Gawat Jantung
Untuk mendapatkan cost-effectiveness yang sebaik-baiknya, dalam pemilihan tes diagnosis harus didahului dengan estimasi Dibacakan pada: Simposium Tatalaksana Gauat Darurat di bidang Penyakit Jantung, Surabaya, 9 Pebruari 1991 probabilitas dari penyakit (pre-test probability atau prevalensi) dan mengetahui sensitivity dan specificity dari tes tersebut. Hal lain yang perlu diketahui ialah tujuan dari tes diagnosis tersebut; yaitu :
1. Untuk diagnosis konfirmasi, etiologi dan faktor risiko serta berat penyakit.
2. Untuk menentukan manajemen penyakit.
3. Untuk menentukan prognosis dan stratifikasi faktor risiko.
1. Untuk Diagnosis Penyakit
Proses diagnosis membutuhkan dua langkah penting. Langkah pertama ialah membuat hipotesis diagnosis, langkah selanjutnya ialah menyingkirkan penyakit lain dan konfirmasi diagnosis. Proses tersebut dapat diselesaikan dengan memilih tes yang sangat sensitif, sehingga apabila hasil tes negatif (normal) berarti dapat menyingkirkan diagnosis penyakit tersebut; sedangkan untuk konfirmasi dipilih tes yang sangat spesifik, apabila tes positif (abnormal) maka diagnosis pasti dapat ditegakkan.
Pada penderita yang tidak gawat, tes diagnostik biasanya dilakukan secara serial, tetapi pada penderita gawat biasanya dilakukan secara paralel. Untuk cepatnya dipilih satu tes yang
sangat sensitif untuk menyingkirkan diagnosis dan satu tes lagi yang sangat spesifik untuk memastikan diagnosis.
Setelah dilakukan konfumasi diagnosis, tujuan tes selanjutnya ialah mencari etiologi kalau mungkin, mencari faktor risiko dan menilai berat/komplikasi penyakit’. Menilai berat penyakit atau mencari komplikasi selain untuk manajemen juga untuk menilai prognosis serta stratifikasi risiko.
2. Untuk menentukan Manajemen Penyakit
Misalnya pemasangan Baloon-tipped pulmonary catheter (Swan-Ganz Catheter) pada penderita Infark Miokard Akut Killip III (payah jantung kid berat) dan IV (shockkardiogenik).
Pemeriksaan faktor risiko koroner pada penderita Infark Miokard Akut untuk kepentingan pencegahan sekunder. Pada penderita yang sangat mencurigakan adanya Infark Miokard Akut, pengobatan klasik seperti pemberian morfin dan sebagainya tidak usah menunggu diagnosis pasti, tetapi untuk memberikan pengobatan trombolitik harus konfilmasi dengan elektrokardiogram.
3. Untuk menentukan Prognosis dan StratiCikasi Risiko
Untuk menentukan hal ini pada penderita dengan Infark Miokard Akut dapat melalui pemeriksaan klinik, EKG, enzim CK-MB serial, ekhokardiografi, monitoring hemodinamik, uji
latih beban, dan sebagainya. Pada penderita krisis hipertensi diperiksa faal ginjal. Sensitifitas dan Spesifisitas suatu tes Setiap prosedur tes laboratorium dan tes diagnostik mempunyai seperangkat sifat yang menggambarkan informasi yang diharapkan pada penderita dengan dan tanpa penyakit yang dipertanyakan. Tes tersebut dapat memberitahu klinikus 2 pertanyaan penting :
1) Apabila penyakit memang ada, berapa persen tes abnormal (positif), dengan kata lain berapa persen sensitifitasnya.
2) Apabila penyakit memang tidak ada, berapa persen tes normal (negatif), dengan kata lain berapa persen spesifisitasnya.
Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Keterangan
a = TP = true positive, terdapat penyakit dan tes positf
b = FP = false positive, tidak terdapat penyakit tetapi tes positf
c = FN = false negative, terdapat penyakit tetapi tes negatif
d = TN =true negative, tidak terdapat penyakit dan tes negatif
a d
Sensitivity = Specificity = b b + d
TP TN
Sensitivity = ¬¬¬¬ Specificity = TP+FN FP+TN
a+d
Diagnostic Accuracy = ¬ a+b+c+d
TP + TN
Diagnostic Accuracy = ¬¬¬¬¬¬¬¬ TP+FP+FN+TN
Sensitifitas ialah berapa persen penderita dengan penyakit tersebut menunjukkan tes positif. Spesifisitas ialah berapa persen penderita tanpa penyakit tersebut menunjukkan pula tes negatif. Tes yang paling ideal ialah selalu positif apabila penyakit ada (sensitifitas 100%) dan selalu negatif apabila tidak didapatkan penyakit (spesifisitas 100%). Tetapi tes yang memiliki sifat demikian ini sangat sedikit. Biasanya makin tinggi sensitifitas justru spesifisitasnya makin menurun, demikian sebaliknya apabila tes makin spesifik malahan tidak sensitif.
Yang perlu diperhatikan pula ialah bila tes sama tetapi kriteria diagnosis berubah akan mengubah pula sensitifitas dan spesifisitasnya. Pemakaian kriteria diagnosis yang makin ketat, menyebabkan tes makin spesifik tetapi menjadi kurang sensitif.
• Predictive Value dari suatu tes Tugas seorang klinikus ialah menentukan secara tepat ada
tidaknya suatu penyakit, maka pertanyaan yang harus dijawab pula ialah :
1) Apabila tes positif, berapa persen yang betul-betul penyakitnya memang ada; disebut sebagai Positive predictive value.
2) Apabila tes ttegatif, berapa persen yang betul-betul penyakitnya memang tidak ada yang disebut sebagai Negative predictive value.
Hasil dari positive predictive value maupun negative predictive value sangat tergantung dari probabilitas adanya penyakit sebelum tes yang disebut sebagai Pre-test probability atau prevalensi. Cara mengukur parameter tersebut ialah sebagai berikut.
a
Positive predictive value =
¬¬¬ a + b
TP
Positive predictive value = ¬¬¬¬¬
TP + FP
d
Negative predictive value =
¬¬¬ c + d
FN
Negative predictive value = ¬¬¬¬¬
FN + TN
Pre-test probability dan Post-test probability
Untuk mengetahui Post-test probability diperlukan pengetahuan mengenai persentase prevalensi atau pre-test probability dari penyakit yang biasanya dapat diperkirakan dari annamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang cermat berdasarkan pengetahuan dan pengalaman klinikus.Hal ini penting untuk memilih tes terbaik untuk menentukan diagnosis penyakit secara tepat.
Pre-test probability tersebut disebut juga prevalence (prevalensi). Untuk menentukan pre-test probability tersebut dapat berdasarkan sumber dari :
1) kepustakaan medis,
2) data lokal,
3) clinical judgment.
Prevalensi tersebut sangat mempengaruhi hasil predictive value dari tes. Tes diagnostik sangat berguna bila kemungkinan adanya penyakit sangat rendah atau sangat tinggi.
Ada beberapa cara untuk meningkatkan prevalensi atau pre-test probability tersebut melalui :
1. Proses Rujukan.
Penderita nyeri dada yang datang ke ruang gawat jantung lebih banyak kemungkinannya menderita penyakit jantung koroner dibandingkanpenderita demikian yang datang ke Puskesmas. Pemakaian EKG, pemeriksaan enzim CK-MB penderita dengan nyeri dada di ruang gawat jantung tentunya banyak gunanya, sebaliknya pemakaian EKG dan pemeriksaan enzim CK-MB yang berlebihan pada penderita nyeri dada di Puskesmas, tidak banyak manfaatnya.
2. Seleksi Demografi
Penderita umur 65 tahun dengan nyeri dada non-spesifik 15 kali lebih besar mempunyai penyakit jantung koroner dibandingkan wanita umur 30 tahun dengan keluhan yang sama. Pemeriksaan EKG dan enzim CK-MB pada penderita umur 65 tahun dengan keluhan nyeri dada akan sangat bermanfaat, tetapi pemeriksaan EKG dan enzim CK-MB pada penderita wanita umur 30 tahun dengan nyeri dada mungkin tidak banyak manfaatnya.
3. Gambaran klinik yang spesifik
Penderita sesak napas dengan kardiomegali tentunya lebih besar kemungkinannya menderita payah jantung dibandingkan penderita sesak napas tanpa kardiomegali.
Apabila akan melakukan tes diagnosis, pertanyaan yang harus dijawab ialah :
1. Apabila tes positif, berapa persen probabilitas adanya penyakit ?
2. Apabila tes negatif, berapa persen probabilitas adanya penyakit ?
Hal ini dapat dilihat pada label sebagai berikut.
B. PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK PENGOBATAN GAWAT JANTUNG
Tiga prinsip penting untuk membuat keputusan pengobatan yang rasional ialah :
1. Mengetahui tujuan pengobatan :
- untuk penyembuhan
- untuk paliatif saja
- untuk simtomatis (menghilangkan keluhan) saja
- dan sebagainya
2. Pilihan pengobatan :
- medikal
- pembedahan
- dan sebagainya
3. Menentukan target pengobatan :
- berapa penurunan tekanan darah yang diperkenankan pada penderita hipertensi ?
- dan sebagainya
Untuk membuktikan efektifitas dari suatu obat/tindakan medis yang paling ideal ialah melakukan penelitian acak klinik/ penelitian eksperimental (randomized clinical trial), Istilah-istilah yang perlu diketahui ialah : Efficacy ialah pengobatan lebih banyak gunanya daripada kerugiannya pada penderita yang diberikan pengobatan ini. Effectiveness ialah pengobatan lebih banyak gunanya daripada kerugiannya pada penderita yang ditawarkan pengobatan ini.
Pengobatan yang tidak efektif dapat disebabkan kurangnya efficacy atau kurang diterima penderita atau keduanya. Efficiency ialah hasil pengobatan berguna ditinjau dari segi biaya, sumber daya dan waktu. Compliance ialah seberapa jauh penderita mengikuti nasihat medis/pengobatan. Relative Effectiveness ialah rasio proporsi penderita yang membaik pada kelompok pengobatan dengan proporsi penderita membaik kelompok kontrol.
Population Attributable Effectiveness ialah proporsi penderita yang membaik pada kelompok pengobatan dikurangi proporsi membaik kelompok kontrol.
Sebagai contoh :
Aspirin pada pencegahan sekunder infark miokard akut. Mortalitas pada plasebo 10,9% sedangkan mortalitas pada kelompok aspirin 8,3%. Atau survival pada kelompok kontrol
89,1% dan kelompok aspirin 91,7%. Relative Effectiveness = 91,7%/89,1% = 1,03/1 — kecil.
Population Attributable Effectiveness = 91,7% – 89,1% = 2,6% berarti 2,6 kehidupan diselamatkan dari 100 penduduk. Karena itu dapat dianjurkan pemakaian aspirin pada masyarakat karena harganya yang murah.
Yang penting diperhatikan pula ialah outcome dari suatu pengobatan yang kadang-kadang memberikan hasil yang bebeda dengan kriteria outcome yang berbedapula. Sebagai contoh coronary by-pass surgery jelas akan memperbaild kualitas hidup penderita, tetapi 5-year survival rate mungkin tidak banyak berbeda dibandingkan dengan pengobatan secara medikal terutama pada penderita dengan stenosis koroner yang tidak terlalu berat.
Nyeri Dada Akut
Penelitian retrospektif pada 536 penderita dengan nyeri dada akut yang masuk ruang gawat jantung mendapatkan bahwa 54% del igan Infark Miokard kut, 31% dengan Iskhemia Miokard, 3% dengan Perikarditis dan Non-Kardiak pada 12%. Dari data di atas didapatkan bahwa hampir 46% penderita nyeri dada akut yang masuk ruang gawat jantung tidak memerlukan perawatan ICCU, karena itu pada penderita seperti ini perlu pendekatan yang rasional untuk mencapai cost-effectiveness yang sebaikbaiknya. Dalam waktu 24 jam biasanya sudah cukup untuk menentukan penderita terdapat Infark Miokard Akut atau tidak. Penderita yang tak menderita Infark Miokard Akut dikeluarkan dari ICCU.
PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK PADA INFARK MIOKARD AKUT
Sensitifitas dari kebanyakan tes laboratorium pada Infark Miokard Akut pada jam jam pertama sangat rendah dan kebanyakan laboratorium tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan mioglobin yang sensitif, maka keputusan yang dilakukan di ruang gawat darurat betdasarkan data dari anamnesis yang teliti danpemeriksaan fisik bersama dengan pemeriksaan elektrokardiogram. Yang perlu ditentukan ialah nyeri dada iskhemik atau karena sebab lain. Penderitadengannyerinoniskhemik dimasukkan ruang perawatan biasa, sedangkan penderita dengan nyeri iskhemik dengan kemungkinan besar infark miokard akut dimasukkan ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG ternyata tidak sensitif, dari penelitian 1118 penderita masuk unit gawat jantung yang terbukti infark miokard akut, hanya 41% menunjukkan gambaran probable acute myocardial infarction pada saat datang.
Setelah elektrokardiografi dilakukan pemeriksaan enzim otot jantng secara seri. Tidak ada tes atau kombinasi tes yang lebih sensitif dan spesifik dari pmeriksaan CK-MK (MB-CPK) pada 24 jam pertama setelah infark. Setelah 24 jam dari timbulnya nyeri, pemeriksaan LDH total dan LDH isoenzim bila diambil secara betul akan sangat berguna untuk menegakkan diagnosis karena tetap tinggi selama beberapa hari dan mempunyai spesifisitas yang tinggi. Saat yang tepat
pengambilan darah untuk pemeriksaan CK-MB ialah pada saat masuk rumah sakit, 12 jam dan 24 jam kemudian.
Pemeriksaan CK-MB selanjutnya mungkin berguna untuk deteksi adanya ekstensi atau infark ulang, tetapi pemeriksaan setiap hari secara rutin pada pasca infark yang tanpa keluhan nilainya rendah. Dari 200 penderita yang diperiksa enzim CK-MB setiap had, 35 menunjukkan adanya infark ulang tetapi pada 94% juga disertai nyeri dada, 91% dengan perubahan segmen ST dan gelombang T pada elektrokardiografi. Hanya 1% sajaekstensi infark tidak disertai keluhan. Jadi nampaknya pemeriksaan CKMB setiap hari tidak diperlukan.
Pemeriksaan foto toraks dan ultrasonografi(ekhokardiografi) tidak banyak gunanya pada penderita infark miokard akut tanpa komplikasi. Tetapi pemeriksaan ekhokardiografi pada pen-
derita dengan gangguan fungsi ventrikel kiri dan adanya bising jantung yang baru akan sangat bermanfaat. Pemeriksaan monitoringhemodinamikdengan kateter Swan-Ganz diperlukan pada penderita dengan payah jantung berat (Killip III) dan shock kardiogenik (Killip IV) yang penting untuk manajemen selanjutnya.
Pemeriksaan uji latih beban sebelum pulang berguna untuk prognosis dan untuk kepentingan rehabilitasi, tetapi pemeriksaan demikian pada penderita dengan payah jantung kiri yang berat tidak berguna dan berbahaya. Demikian pula pada penderita angina pektoris pasca infark yang tak terkontrol(American College of Physicians, 1989).
Di bawah ini akan diberikan contoh-contoh :
1. Penderita dengan presentasi klinik mencurigakan adanya iskhemia miokard.
Masalah Klinik : Penderita dengan presentasi klinik mencurigakan adanya iskhemia miokard.
Strategi Tes : Periksa elektrokardiogram. Apabila EKG abnormal atau terdapat riwayat angina pektoris atau infark miokard penderita dimasukkan rumah sakit dan diperiksa CK-MB pada saat datang, 12 jam dan 24 jam setelah masuk rumah sakit.
Rasionalisasi : Apabila keluhan mencurigakan iskhemia miokard dan adanya gambaran baru pada EKG, kemungkinan infark miokard 2096. Apabila EKG menunjukkan elevasi
segmen ST atau gelombang Q yang baru, kemungkinan infark miokard besaryaitu 80%. Adanyagambaran EKG yang lain menunjukkan kemungkinan infark miokard sekitar 5-20% apabila terdapat keluhan angina pektoris atau riwayat adanya infark miokard. Begitu penderita masuk rumah sakit cukup diperiksa CK-MB saja secara serial.
Contoh Kasus :
Seorang penderita pria umur 45 tahun dengan nyeri dada selama 50 menit. Nyeri substernal dan seperti ditekan benda berat. la pernah menderita infark miokard sebelumnya.
Pemeriksaan EKG tidak ada perubahan dibanding sebelumnya (perubahan gelombang T non-spesifik). Kemungkinan infark miokard pada penderita ini 15%. Apabila tidak ada Intermediate Care penderita dimasukkan ruang gawat darurat jantung dan diperiksa CK-MB serial seperti disebutkan diatas. Tes terse-but akan dapat memastikan atau menyingkirkan infark miokard akut.
2. Penderita dengan riwayat penyakit menunjukkan kemungkinan infark miokard yang rendah
Masalah Klinik : Penderita dengan anamnesis menunjukkankemungkinan infark miokard akut yang rendah.
Strategi Tes Ditentukan apakah perlu diperiksa EKG. Apabila EKG normal tidak diperlukan tes lebih lanjut. Apabila EKG positif kemungkinan infark miokard lebih besar.
Rasionalisasi Beberapa penderita dengan nyeri dada noniskhemik berdasarkan gambaran klinik. Infark miokard dapat disingkirkan secara klinik apabila nyeri tajam atau pleuritik, atau berubah dengan posisi atau nyeri pada palpasi. Pada banyak keadaan lain mungkin diperlukan EKG. Apabila EKG normal tak diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada keadaan ini cukup follow-up klinik saja.
Contoh Kasus :
Seorang pria umur 25 tahun tanpa riwayat keluarga penyakit jantung koroner dini dan tanpa adanya faktor risiko koroner mengeluh nyeri dada (pleuritik) yang mendadak selama 2 jam. Nyeri substernal, tajam dan bertambah dengan posisi torso.
Anamnesis dan pemeriksaan klinik tidal( sesuai dengan infark miokard akut. Tidal( perlu dilakukan pemeriksaan EKG apabila tidak dicurigai adauya perikarditis, emboli paru, dsb.
3. Penderita dengan keluhan sesuai dengan infark miokard
3 hari sebelum masuk rumah sakit tetapi klinik stabil
Masalah Klinik : Penderita dengan keluhan sesuai dengan infark miokard 3 hari sebelum masuk rumah sakit tetapi klinik stabil.
StrategiTes
enderitadimasukkan rtnnahsakitdan diperiksa EKG. Apabila terdapat gelombang Q atau elevasi segmen ST, kemungkinan infark miokard akut 80%. Enzim LDH dan isoenzim LDH-5 memastikan diagnosis apabila tes positif. Sidikan radionuklir tidak perlu apabila EKG positif. Apabila EKG non-spesifik dan enzim LDH dan isoenzim LDH negatif, Sidikan Radionuklir (Technetium-Pyrophosphate) mungkin membantu memastikan atau menyingkirkan diagnosis infark miokard akut.
Rasionalisasi Pada penderita seperti ini pemeriksaan CK-MB harus dipertimbangkan kembali karena biasanya normal dalam 48-72 jam setelah infark miokard akut. EKG mungkin menolong seperti telah dibicarakan di atas. Enzim LDH dan isoenzim LDH sering abnormal sampai 3 atau beberapa hari setelah infark miokard akut. Apabila hasil positif, dapat dipastikan adanya infark miokard akut karena tes spesifik. Apabila negatif, kemungkinan (probabilitas) infark miokard akut sebelum tes harus dihitung untuk menentukan tes selanjutnya yang berguna.
Contoh Kasus :
Seorang pria umur 50 tahun dengan riwayat adanya angina pektoris tetapi tidak ada infark miokard sebelumnya, mengeluh nyeri dada yang lama seperti angina tetapi berakhir lebih 1 jam dan disertai keringat dingin. Nyeri lebih berat dibandingkan angina pektoris sebelumnya.
Serangan terjadipada saat berburu karena itu nampaknya tidak begitu gawat. Nyeri terjadi 72 jam yang lalu. Dari anamnesis dicurigai adanya infark miokard akut dan dari pemeriksaan EKG terdapat gelombang Q baru.
Kemungkinan infark miokard akut ialah 80%. Apabila tes LDH atau isoenzim LDH positif dapat dipastikan adanya infark miokard akut (probabilitas 95%). Apabila tes negatif, probabilitas infark miokard akut tetap tinggi (50%) karena sensitifitas LDH yang berkurang setelah beberapa hari. Sidikan Tc-Pyrophosphate mungkin tidak membantu karena sensitifitasnya sedang saja. Karena itu diagnosis infark miokard akut tetap dipertimbangkan.
4. Penderita dengan nyeri dada iskhemik dan gambaran elektrokardiogram terdapat LBBB
Masalah Klinik : Penderita dengan nyeri dada iskhemik dan gambaran elektrokardiogram terdapat LBBB.
Strategi Tes : Periksa enzim seperti biasanya. Hanya pada penderita yang datang terlambat setelah keluhan dipertimbangkan pemeriksaan Sidikan Tc-Pyrophosphate.
Rasionalisasi : EKG pada penderita seperti ini tidak spesifik (60-70%). Apabila enzim tidak dapat memastikan Infark Miokard Akut, post-test probability Infark Miokard Akut menjadi 5% (apabila perkiraan pre-test probability 30%, sensitifitas EKG 80% dan spesifisitas EKG 98%). Sidikan nuklir hanya dapat membantu apabila terdapat kelainan abnormal yang fokal-regional. Pada penghitungan dibawah ini dapat dilihat implikasi dari pemeriksaan EKG diikuti pemeriksaan enzim CK-MB.
Kira-kiraduapertiga kematian padapenderita dengan infark miokard akut terjadi diluar rumah sakit. Adanya pre hospital emergency care dengan mobile coronary care unit (MCCU) diharapkan memperbaiki prognosis dalam arti survival rate, life
Tabel 8. Table of Post-Test Predictive Values
expectancy serta kualitas hidup yang baik dan mengurangi komplikasi icelainan neurologik. Bergantung pada siapa yang menolong pertama kali dan peralatan yang ada, survival rate penderita seperti ini sekitar 20-70%n. Tetapi sulit untuk menghitung cost-effectiveness dari MCCU’. Penelitian di Aberdeen pada 1011 penderita dengan serangan jantung menunjukkan 92% melakukan kontak pertama dengan dokter umum. Dengan mendidik mereka dalam basic We support dan advanced We support dan dilengkapi dengan defibrilator, ternyata mortalitas
tidak berbeda dibandingkan dengan MCCU yang berasal dari rumah sakit. Jadi selain MCCU ada pendekatan lain untuk Prehospital Emergency Care, tetapi belum dihitung mana yang lebih cost effective.
Diperkirakan dengan adanya ICCU mortalitas turun sebesar 21% dibandingkan sebelum ada ICCU. Tetapi menurut Goldman’ penurunan ini hanya sebesar 4% dan sulit untuk menghitung cost-effectiveness dari ICCU. Untuk menurunkan cost harus dibuat indikasi yang tepat dan mengurangi lama perawatan di ICCU. Penderita yang tak begitu gawat dirawat di intermediate care. Efektifitas pengobatan trombolitik pada penderita Infark Miokard Akut telah dibuktikan dan tidal( diperdebatkan lagi dan sekarang mulai dipakai secara luas. Tetapi tantangan yang sangat penting saat ini ialah agar pengobatan ini dapat dilakukan pada semua atau hampir semua penderita dengan infark miokard akut.
Sebaliknya perlu diperhatikan pula bahwa semua penderita yang diberikan trombolitik, semua juga betul-betul menderita infark miokard akut.
Di Amerika Serikat tahun 1989 terdapat 700.000 penderita dengan infark miokard akut masuk rumah sakit, tetapi hanya 140.000 yang mendapat pengobatan trombolitik.
Dari berbagai penelitian ternyata 13¬77% penderita infark miokard akut tidak diberi obat trombolitik karena datang terlambat. Apabila ditambah adanya kontra-iitdikasi jumlah teisebut menjadi lebih besar lagi. Keterlambatan tersebut terdiri 3 komponen yaitu:
1) Keter lambatan penderita memintapertolongan dokter,
2) Waktu untuk transportasi yang hilang dan
3) Kelambatan dalam clinical decision making.
Pendidikan kepada masyarakat akan dapat mengurangi keterlambatan penderita meminta pertolongan dokter. Ada beberapa Masan mengapa tidak semua penderita infark miokard akutdiberi terapi tromboli tik meskipun.tidak adakontra indikasinya, yaitu :
1. Dimana trombolitik dapat dilakukan ? Sebagian besar penderita terutama di pedesaan
tidak dapat mencapai rumah sakit dengan fasilitas trombolitik dengan waktu yang cukup agar pengobatan trombolitik efektif.
Pada penelitian TIMI II (Thrombolytic in Myocardial Infarction) strategi konservatif setelah pemberian tissue-type pla,sminogen activator, heparin intravena dan aspirin sama baiknya dibandingkan dengan strategi dengan tindakan kateterisasi yang invasif. Penderita yang dirawat di rumah sakit rujukan tersier dan rumah sakit umum (daerah) ternyata morbiditas dan mortalitas setelah 1 tahun tak berbeda bennakna, oleh karena itu pengobatan trombolitik dapat dilakukan di rumahsakit daerah tanpa peralatan kateterisasi dart bedah jantung.
Tabel 9. Potential impact of Thrombolytic Therapy
% Reduction
in mortality
GISSI ISIS
Proportion (%)
eligible for treatment
Perth MONICA project
1st hour
51
45
30
2-3 hours
16
38
28
3-6 hours
20
30
17
6-9 hours
13
25
5
9-12 hours
10
17
5
> 12 hours
0
20
15
Keterangan : Dikutip dari
14
.
Tempat pengobatan trombolitik mungkin dapat diperluas
sampai di unit rawat jalan, praktek dokter, ambulans, bahkan
mungkin di rumah; tetapi masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. Namun perlu diingat setelah tindakan tersebut, harus
cepatdikirim kerumah sakitumum terdekatyang memungkinkan
untuk dipindah Ice rumah sakit rujukan tersier apabila keadaan
bertambah gawat
6
.
2.
Siapa yang dapat melakukan pengobatan trombolitik ?
Pengobatan trombolitik pertama kali dilakukan di rumah
sakit akademik tersier oleh ahli penyakit jantung. Tetapi se-
karang trombolitik sebagian besar dikerjakan oleh dokter ahli
penyakit dalam maupun dokter keluarga penderita yang men-
dapatkan penderita dengan infark miokard akut pertama kalinya.
Karena itu mereka juga tabu indikasi, kontra-indikasi dan efek
sampingnya. Karena pentingnya pengobatan segera dan terba-
tasnya dokter, yang menjadi pertanyaan ialah apakah paramedic,
teknisi yang terlatih juga dapat dan boleh mengerjakan ini ?
Di Amerika Serikat hal ini mungkin karena dapat mengirim
elektrokardiografi lewat telepon ke rumah sakit terdekat. Yang
menentukan indikasi pemberian tetap dokter
6
. Untuk di Indo-
nesia hal ini rasanya masih jauh dari jangkauan.
3.
Indikasi pengobatan trombolitik
Hambatan penting lain pemberian trombolitik ialah keti-
dakjelasan penderita yang dapat diberi pengobatan trombolitik.
Telah disepakati bahwa pengobatan trombolitik berhasil baik
apabila diberikan dalam waktu 6 jam sesudah timbulnya infark
miokard akut. Masalahnya ialah sering sulit menentukan onset
terjadinya infark miokard akut. Pada Thrombolysis in Myocar-
dial Infarction (TIMI) II trial digunakan kriteria yang ketat yaitu
umur kurang 76 tahun dan nyeri dada kurang 4 jam disertai
peningkatan segmen ST pada elektrokardiogram
6
. Demikian
pula pada Gruppoltaliano per lo Studio della Streptochinasi nell
Infarcto Miocardico (GISSI) I trial apabila pengobatan trom-
bolisis yang diberikan seteiah 6 jam timbulnya keluhan tidak ada
manfaatnya. Namun perlu dicatat bahwa penderita yang diberi
terlambat (6-12 jam setelah timbulnya keluhan) tersebut jumlah-
nya sedikit sehingga nilai kemaknaan dari statistiknya terbatas
6
.
Dari penelitian 321 penderita umur kurang 75 tahun dengan
nyeri dada kurang 4 jam (nyeri dada lebih dari 30 menit) dan EKG
pada saat datang di ruang gawat jantung terdapat elevasi segmen
ST atau gelombang Q patologis didapatkan positive predictive
value 76% berarti dari 100 penderita dengan data di atas 80%
betul-betul infark miokard akut, sedangkan 19% bukan karena
infark miokard akut. Berarti bila diberi obat trombolitik, 24%
penderita sebetulnya tidak memerlukan obat ini. Apabila di-
lakukan lagi pembacaan lebih akurat ternyata lebih banyak lagi
dengan infark miokard akut (true positive-nya meningkat) se-
hingga positive predictive value menjadi 88%
9
. Pada
Multicenter Investigation of the Limitation oflnfaret Size
(MILLS) hanya 65% penderita dengan nyeri dada dan elevasi
segmen ST pada 2 sadapan prekordial terbukti infark miokard
akut. Dengan kriteria hampir sama tetapi termasuk juga
sadapan inferior, 94,2% penderita GISSI dan 80,3% penderita
EMIP terbukti infark miokard akut
9
.
Sedangkan pada penelitian yang bersumber dari masyarakat
seperti International Study of Infarct Survival (ISIS) II trial
penderita yang diteliti jumlahnya sangat banyak dengan kriteria
yang lebih luas, tidak ada batasan umur, pengobatan dapat di-
berikan sampai 24 jam sesudah timbulnya nyeri dada; ternyata
didapatkan hasil yang baik pula dan kombinasi streptokinase
dan aspirin dapat menurunkan mortalitas awal dari 13%
menjadi 9%. Pengobatan terlambat tetapi hasilnya baik adalah
karena penderita tersebut tidak terlambat dalam arti sebenarnya
akibat adanya gejala prodromal atau adanya unstable angina
pectoris yang mendahului terjadinya infark miokard akut.
Kemungkinan kedua ialah membukanya pembuluh darah oleh
trombolitik mencegah terjadinya kematian mendadak karena
mekanisme selain dari myocardial salvage. Sedangkan
keterangan ke tiga mungkin daerah tersebut mempunyai
kolateral sehingga tidak sampai terjadi nekrosis meskipun
terjadi oklusi totaP
.
‘
s
. Tetapi perlu diingat dengan kriteria yang
longgar tersebut positive predictive value dari infark miokard
akut hanya 70%, berarti dari 10 penderita yang diberi obat
trombolitik, 3 bukan karena infark miokard
1
.
Pada 2 tabeldibawah ini dapatdilihat cost-effectiveness dari
berbagai pengobatan penyakit jantung.
Tabel 10. Cost per Quality-Adjusted year of life for several Standard
Modes of Cardiac Therapy
Cost
(US. 8, 198S)
Treat diastolic BP 2 105 mmHg
15.000
Treat diastolic BP 2 95-104 mmHg
30.000
Treat hypercholesterolemia (2 265 mg%)
135.000
with
cholestyramine
Post-infarction beta-blocker therapy
low risk
20.000
high
risk
3.500
Coronary artery by pass surgery
10.500
3 vessel disease, mild angina
10.500
Left
main
disease,
mild
angina
4.700
Severe
angina
5.200
Keterangan : Dikutip dari
1
.
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
12
Table 11. Cost per year of life gained with Intra coronary Thrombolysis
DFL
Inferior Myocardial Infarction
10.000
Anterior Myocardial Infarction
3.800
Anterior M.I. with ST > 2 mm and < 2 hours from onset
1.900
.
PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK DISEKSI ANEURISMA AORTA
Pada penderita yang diduga menderita diseksi aneurisma aorta, pemeriksaan sederhana yang dapat membantu ialah foto polos dada secara serial. Apabila hasil pemeriksaan menyokong, pemeriksaan selanjutnya ialah CT Scan dan untuk diagnosis pasti ialah pemeriksaan angiografi aorta. Dengan adanya ekhokardiografi esofageal pemeriksaan secara noninvasif menjadi lebih akurat.
Tanpa pengobatan, mortalitas tinggi sekali, lebih 25% dalam 24 jam, lebih 50% dalam minggu pertama, lebih 75% dalam 1 bulan dan lebih 90% meninggal dalam 1 tahun. Pengobatan definitif berupa pembedahan pada diseksi proksimal akut, dan medikal pada diseksi aneurisma distal tanpa komplikasi.
Sesak Napas
PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK PAYAH JANTUNG KIRI AKUT
Diagnosis payah jantung kiri akut dengan edema paru sering sudah dapat dibuat secara klinik. Tetapi pada fase awal diagnosis sering sulk ditegakkan. Pemeriksaan sederhana yang dapat membantu ialah foto polos dada yang bila mungkin dalam keadaan berdiri atau setengah duduk. Pemeriksaan ekhokardiografi penting untuk menilai fungsi ventrikel kirilebihtepat dan mencari
adanya penyakit dasar. Kegunaan lain dari ekhokardiografi ialah untuk mengetahui adanya efusi perikardial.
Pengobatan meliputi :
1. Tindakan non-spesifik : seperti pemberian morfm, oksigen, furosemid, nitrat
2. Mencari dan mengobati faktor presipitasi : seperti takhiaritmia, infeksi, emboli paru, anemia, aktifitas berlebihan, tiro-toksikosis, pada penderita yang sudah berpenyakit jantung
3. Mencari dan mengobati penyakit dasar.
PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK EFUSI PERIKARDIAL
Pada penderita yang diduga menderita efusi perikardial, pemeriksaan foto polos dada tak banyak membantu diagnosis. Demikian pula pemeriksaan EKG. Pemeriksaan yang sangat akurat dengan sensitifitas dan spesifisitas mendekati 100% untuk diagnosis konfirmasi (adanya) efusi perikardial ialah ekhokardiografi.
Tetapi sayang ekho M-mode dan 2-D untuk menilai gangguan hemodinamik kurang andal, sehingga untuk memastikan diagnosis klinis pada tamponade jantung, ekhokardiografi sering kurang banyak membantu. Sensitifitas dan spesifisitas diastolic collapse pada atrium kanan maupun ventrikel kanan untuk deteksi gangguan hemodinamik (tamponade) sangat bervariasi. Penilaian diastolic filling dengan ekhodoppler yaitu mengukur variasi kecepatan aliran transvalvular dan isovolumic relaxation time selama pernapasan, mungkin lebih akurat.
Perikardiosentesis hanya dikerjakan apabila terdapat tanda-tanda tamponade dan apabila analisis cairan perikardial dipandang sangat penting untuk menegakkan diagnosis seperti perikarditis bakteri akut, dsb. Perikardiosentesis dengan tuntunan ekho ternyata cukup aman dibandingkan perikardiosentesis dengan tuntunan EKG.
Krisis Hipertensi
Diagnosis krisis hipertensi biasanya tidak sulit. Disebut Hipertensi Gawat (Hypertensive Emergency) apabila terdapat komplikasi target organ yang berat, dan disebut Hipertensi Darurat (Hypertensive Urgency) apabila terdapat kerusakan target organ baru yang ringan. Komplikasi payah jantung kiri akut dan komplikasi sistim saraf pusat dan mungkin juga gagal ginjal akut dapat ditegakkan secara klinik. Pemeriksaan lain yang penting ialah EKG, urinalisis, faal ginjal dan ophtalmoskopi. Pemeriksaan tambahan lain foto polos dada, natrium dan kalium serum, asam urat, profil lemak darah dan gula darah. Yang juga perlu dicari ialah faktor risiko atau faktor presipitasinya.
Tujuan pengobatan krisis hipertensi ialah memperbaiki/melindungi target-organ. Dipakai obat yang bekerja cepat dengan pilihan obat tergantung kerusakan target-organ. Sedangkan target pengobatan ialah penurunan tekanan darah secepat dan seoptimal mungkin tanpa mengganggu perfusi target-organ. Kecepatan dan besamya penurunan tekanan darah masih merupakan kontroversi dan bersifat individual. Biasanya penurunan tekanan darah sekitar 20-309′o dalam 1 jam pada hipertensi gawat dan dalam 24 jam pada hipertensi darurat.
Syncope
Pendekatan rasional penderita dengan syncope ialah berdasarkan data bahwa prevalensi penderita berisiko tinggi sangat bervariasi sehingga tes yang diperlukan juga bervariasi tergantung dari populasi yang diperiksa. Tes rutin dengan biaya rendah yang dianjurkan ialah darah lengkap, elektrolit serum, BUN, serum kreatinin dan gula darah, meskipun kegunaannya terbatas pada penderita dengan unexplained syncope.
Yang menjadi perdebatan ialah pemilihan tes-tes selanjutnya yang mahal seperti CT–scan, elektroensefalogram, monitoring Holler, pemeriksaan elektrofisiologi, yang diperlukan pada penderita dengan kemungkinan penyakit jantung dan neurologik. Untungnya penderita-penderita seperti itu biasanya sudah dapat diperlrakan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sehingga pemilihan tes selanjutnya lebih mudah. Dengan pemeriksaan non-invasif tersebut ternyata pada 50% penderita penyebabnya tetap tidak dilcetahui. Mortalitas pada cardiac syncope sebesar 20-30%, untuk sebab non-kardiak hanya 5% dan untuk unexplained syncope 10% dalam waktu 1 tahun. Karena itu apabila ada kecurigaan didasari penyakit jantung harus dievaluasi lebih teliti.
Pada beberapa penderita dengan penyakit dasar jantung masih diperlukan pemeriksaan invasif (elektrofisiologi) untuk diagnosis lebih terperinci dan untuk memilih/evaluasi hasil pengobatan”.
Apabila penderita tid~lc termasuk risiko tinggi, cukup dilakukan fellow-up klinik saja.
RINGKASAN
Dalam perawatan penderita ada dua hal renting yang harus dikerjakan oleh seorang dokter ialah keputusan untuk membuat diagnosis dengan melakukan serentetan pemeriksaan dan memberikan pengobatan. Dalam melaksanakan hal ini harus diperhatikan cost-effectiveness dalam arti dengan sumber daya (fasilitas dan dana) yang ada dapat mencapai health benefit setinggitingginya dengan biaya serendah-rendahnya. Dalam perawatan penderita gawat pemeriksaan biasanya dilakukan secara paralel, tetapi pada penderita gawat jantung untuk tes yang mahal tetap secara serial. Untuk mempermudah biasanya dipilih satu tes yang sangat sensitif untuk menyingkirkan diagnosis dan satu tes lagi yang sangat spesifik untuk konfirmasi diagnosis (pada IMA CK-MB merupakan tes yang sangat sensitif dan sangatspesifik). Untuk mendapatkan costeffectiveness yang sebaik-baiknya harus diketahui sensitivitas, spesifisitas dari tes dan pre-test probability dari penyakit berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat ditambah pemeriksaan seder-liana (misalnya EKG, dsb).
Tujuan diagnosis ialah selain untuk konfirmasi, juga mencari etiologi bila mungkin, mencari faktor risiko dan faktor presipitasi serta mencari komplilcasi/menilai berat penyakit. Pemeriksaan tersebut selain renting untuk manajemen penderita (misalnya pemasangan Swan-Ganz catheter pada IMA), juga penting untuk menilai prognosis dan stratifikasi risiko (klasifrkasi hemodinamik Killip secara klinik maupun invasif pada IMA).
Dasar untuk membuat keputusan pengobatan yang rasional ialah 1) tujuan pengobatan (mengatasi aritmia dan membatasi luas infark/reperfusi pada 1MA, memulihkan kerusakan/melindungi target organ pada krisis hipertensi, dsb), 2) pemilihan obat (sebaiknya berdasarkan randomized clinical trial seperti obat trombolitik pada IMA, dsb) dan 3) target pengobatan (sampai seberapa jauh dan seberapa cepat penurunan tekanan darah pada penderita krisis hipertensi, dsb).